Lisbon - Selama ratusan tahun nama Portugal memang identik dengan kisah kebesaran para penjelajah lautan yang membelah dunia. Yang paling populer adalah Vasco Da Gama, yang mengarungi lautan hingga ke tanah Nusantara.
Meski megah dengan kisah kebesaran para penjelajah lautannya, Portugal juga memiliki kisah Islam dengan sejarah yang tak kalah luar biasa. Inilah yang membawa tim Jazirah Islam menelusuri Lisabon, ibu kota negara Portugal.
Islam masuk ke tanah Portugal tak terlepas dari penaklukan wilayah Spanyol oleh Thariq bin Ziyad sekitar abad ke-8 Masehi. Dari sinilah perluasan wilayah dilakukan ke daerah Portugal oleh Panglima Musa bin Nashir. Hingga kemudian wilayah ini dikenal dengan nama Al Garb Al Andalus atau Andalusia Barat.
Aisyah atau Sofia Jacobetty adalah seorang gadis Portugis yang telah memeluk Islam pada usianya yang masih muda. Aisyah lahir dan tumbuh besar dalam sebuah lingkungan keluarga Portugis nonmuslim.
Selama bertahun-tahun, sang ibunda Carmen Jacobetty selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk menjadi seseorang yang religius. Namun tanpa disangka, Islam menyentuh hati wanita muda ini dengan cara yang tak terduga.
"9 Januari 2015 saya menjadi muslim. Tapi saya sudah pergi ke masjid Lisabon jauh sebelum itu, karena saya bekerja sukarela untuk sebuah komunitas. Pada saat itu saya bekerja untuk klub sepakbola, Sporting Lisbon. Dan kami bekerja sama dengan seseorang muslim dari Mozambik," demikian Aisyah mengisahkan perjalanan spiritualnya.
Saat itu, Aisyah mulai bertanya-tanya tentang Islam, membuatnya ingin belajar banyak tentang Islam.
"Dan setelah itu saya mulai intens datang ke masjid untuk kerja sukarela. Dan akhirnya saya sebuah menghadiri kelas khusus untuk para mualaf, saya mengikuti, dan akhirnya saya memutuskan mengucapkan syahadat," ujar Aisyah.
Islam tak pernah mengubah apa yang ada di dalam diri Aisyah. Ia tetap seorang gadis dengan pemikiran yang sama. Apa yang ia yakini begitu terus sebelum dan sesudah ia mengetahui agama rahmatan lil alamin.
"Saya hanya orang yang sama. Saya hanya hidup dengan cara yang berbeda. Sebelumnya saya memang tidak berbuat buruk, saya meminum alkohol, saya memakan daging babi, karena pada saat itu saya bukan seorang muslim. Tetapi sekarang saya sudah berhenti," tuturnya.
Ibu dan anak, Carmen Jacobetty (baju kuning) dan Sofia Jacobetty alias Aisyah. (Yayat Dayat/Trans7)
|
"Terkadang memang sangat sulit bagi saya untuk menghindari sebuah makanan karena, jika Anda tidak pernah mencoba, Anda tidak pernah merindukannya. Namun, jika Anda sudah pernah memakannya, pada saat aromanya datang, saya harus berlari. Tetapi di rumah ini karena saya yang memasak, tidak ada daging babi di sini," ungkapnya.
Meski Aisyah dan ibunya kini berbeda agama, tak ada yang menghalangi kecintaan seorang ibu kepada anaknya. Karena ibu adalah tetap ibu dan anak adalah tetap darah dagingnya sampai kapan pun. Sang ibu mendukung suasana rumah selalu dalam kondisi islami bagi sang anak. Sebuah toleransi yang nyata dalam keluarga.
"Saya menerima anak saya menjadi muslim. Jika itu membuatnya bahagia, saya ikut bahagia. Saya yakin ia menjadi jauh lebih tenang sekarang," tutur Carmen.
Bagi sebagian besar muslimah yang tinggal di negara minoritas muslim, persoalan hijab dan pakaian muslim harus mereka hadapi setiap harinya.
"Mereka akan melihat Anda, beberapa kali dan akan dipandangi dari atas sampai bawah, tetapi mereka tidak akan berkata apa pun, dan saya tidak punya pengalaman buruk tentang itu. Orang-orang Portugal sangat baik, mereka sangat terbuka," kata Aisyah.
Saksikan kisah lengkap perjalanan spiritual Aisyah alias Sofia Jacobetty di Lisabon dalam program "Jazirah Islam" di TRANS 7 pada Selasa 16 Mei 2017, pukul 15.15 WIB.
0 Komentar