Filosofi ketupat Nusantara

KETUPAT
Hari ini, kita merayakan Idul Fitri. Sebagaimana lazimnya masyarakat muslim Nusantara, saling memberi ketupat dan opor ayam  sudah menjadi tradisi turun temurun dari generasi ke generasi.
Memang, di Nusantara, ekspresi perayaan Idul Fitri sangatlah beragam. Saling berkirim ketupat opor  hanyalah salah satu diantaranya. Masih banyak bentuk ekspresi yang lain. Dari mulai ritual mudik ke kampung halaman, ziarah ke makam orang tua selepas sholat Id, membeli baju baru hingga perang mercon.  Dari berbagai ekspresi tadi, boleh jadi,  saling memberi ketupat menjadi suatu bentuk ekspresi budaya yang paling dimaknai secara mendalam oleh sebagian besar masyarakat.
Ketupat adalah simbol Idul Fitri yang sangat khas.  Tak heran jika desain motif ketupat  banyak tertera di ucapan-ucapan selamat dan iklan di berbagai media. Tiap-tiap daerah memiliki cara tersendiri dalam memaknai tradisi berkirim ketupat. Bagi orang Jawa misalnya,   ketupat merupakan bagian penting dalam berlebaran. Bahkan, boleh jadi,  ketupat adalah simbol dari esensi lebaran itu sendiri.
Dalam mengekspresikan sesuatu, masyarakat Jawa dikenal sangat gemar menggunakan simbol. Orang Jawa juga  terbiasa menggunakan sanggit atau perumpamaan dalam menyampaikan pesan. Terutama bila pesan itu merupakan sesuatu yang sensitif..  Dalam kondisi tertentu, seperti saat memberikan kritik atau saran misalnya,  seseorang yang terlalu vulgar tanpa sanggit dalam memberikan saran boleh jadi akan dinilai tak punya  tata krama. Dan tentu saja, biasanya, kecil kemungkinan saran itu akan didengarkan atau dilaksanakan.  Sebaik apapun apapun saran itu.
Orang Jawa menyebut ketupat dengan kupat. Konon, bila dimaknai dalam kaidah kerata basa, kupat berarti ngaku-lepat  atau “mengaku salah”.  Jadi, bila ada seorang Jawa di hari Idul Fitri memberi sampeyan ketupat berlinang kuah santan opor ayam, maka  boleh jadi, dia ingin meminta maaf kepada sampeyan. Akan tetapi, entah karena malu atau lain hal yang sulit diungkapkan secara lisan, Ia menjadikan ketupat sebagai sarana permintaan maaf. Sebagaimana diungkapkan dalam parikan,
Meniko kupat siniram santen
Sedoyo lepat nyuwun ngapunten
Sampeyan coba ingat-ingat, boleh jadi dia pernah minjem duit ke sampeyan tapi belum bisa mengembalikan. Atau diam-diam, dulu Ia pernah tidak sengaja menukarkan  sandal amoh miliknya dengan sandal baru kesayangan sampeyan yang masih kempling. Tapi, jikalau sampeyan sudah terlanjur lupa, tak perlulah sampeyan susah-susah mengingat. Karena, bukan itu yang ia inginkan. Ia datang sambil membawa ketupat agar semua kesalahan yang ia perbuat kepada sampeyan betul-betul dimaafkan bukan diungkit-ungkit. Kalaupun setelah saling berbagi ketupat sampeyan mau menagih utang, itu lain perkara.      
Belakangan, saling mengirimkan ketupat saat lebaran pun sudah menjadi tradisi. Orang-orang shalih terdahulu di Nusantara  telah mewariskan pada kita suatu bentuk budaya  berhari raya Idul Fitri yang adiluhung.   Cara mereka menginterpretasikan ajaran kanjeng nabi dan mengemasnya sesuai pakem masyarakat Nusantara adalah warisan berharga yang perlu kita rawat.

Ditulis oleh
FIZA UMAMI

Posting Komentar

0 Komentar